Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menginisiasi proyek penyambungan listrik bersama dengan Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina (BIMF) dengan mendorong pembentukan nota kesepahaman antar badan usaha ketenagalistrikan untuk melaksanakan interkoneksi.
Proyek ini akan mereplikasi skema perpanjangan LTSM yang ada di Laos, Thailand, Singapura dan Malaysia. Dirjen Ketenagalistrikan, Jisman P. Hutajulu mengatakan, kerjasama ini akan dilakukan melalui skema antar pemerintah atau G to G dengan proyeksi transfer daya listrik minimal 500 Kilovolt (Kv).
Menurut Jisman, seluruh listrik yang disalurkan akan berasal dari sumber energi terbarukan. Proyek jangka panjang ini merupakan rangkaian rencana jaringan listrik terintegrasi di Asia Tenggara yang disebut ‘ASEAN Power Grid’.
“Atau nanti kalau teknologinya cukup, bisa 1.000 Kv,” kata Jisman saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (31/3).
Jisman menambahkan, keempat Menteri Energi yang tergabung dalam proyek interkoneksi BIMF saat ini sedang melakukan studi kelayakan untuk menentukan besaran kapasitas pasokan listrik, infrastruktur, dan investasi yang dibutuhkan masing-masing negara.
Ia mengatakan, proyek sambungan BIMF akan menelan biaya lebih besar dari jaringan sambungan LTSM yang sudah ada. Pasalnya, proyek tersebut akan terkoneksi melalui infrastruktur jaringan kabel bawah laut.
“LTSM ini berbasis darat, tentu lebih mudah. Bayangkan ke Filipina, ini laut dalam. Namun, belum ada pendanaan infrastruktur khusus,” kata Jisman.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), ASEAN membutuhkan dana sebesar US$ 29,4 triliun pada tahun 2050 untuk melaksanakan transisi energi dengan 100% energi baru dan terbarukan. Kawasan ASEAN memiliki sumber energi baru dan terbarukan yang progresif, yakni lebih dari 17.000 gigawatt (GW).
Modal ini cukup baik untuk mewujudkan target pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi mencapai 23%, dan pangsa energi baru terbarukan sebesar 35% dalam kapasitas pembangkitan pada tahun 2025 sesuai ASEAN Action Plan for Energy Cooperation (APAEC).
Lebih lanjut, kata Jisman, studi kelayakan yang dilakukan tahun ini akan menargetkan landing point atau titik sentral stasiun interkoneksi di masing-masing negara. Rencananya, titik pendaratan di Indonesia akan berlokasi di Pulau Kalimantan. Pemilihan lokasi didasarkan pada kedekatannya dengan Brunei Darussalam.
Setelah menentukan titik pendaratan, keempat negara akan bernegosiasi untuk merancang fasilitas yang terdiri dari infrastruktur darat dan kabel bawah laut. Indonesia selama ini telah mengimplementasikan teknologi kabel bawah laut untuk jaringan listrik Jawa-Bali.
“Kemudian ada prioritas, bukan tidak mungkin membangun semuanya sekaligus karena lautnya luas. Dikirim ke mana dari mana nanti akan dipertimbangkan,” kata Jisman.