Pelaku usaha batu bara menilai positif langkah pemerintah yang menetapkan 0% biaya produksi atau royalti bagi perusahaan yang bergerak di hilir batu bara. Meski begitu, mereka tetap berharap pemerintah bisa menjamin ketersediaan pasar dan insentif lainnya.
Royalti 0% itu tertuang dalam Peraturan Cipta Kerja Pengganti Hukum (Perppu) yang baru saja dirilis. Perusahaan yang akan mendapat kontribusi produksi nol persen adalah perusahaan yang melakukan operasi hilir dan memproduksi batu bara gas atau Dimethyl Ether (DME), metanol, dan batu bara cair.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, hilirisasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendukung keberlangsungan industri tanah air. Namun demikian, prospek bisnis gasifikasi batubara atau liquefied coal sangat bergantung pada faktor keekonomian.
Menurut dia, keekonomian bisnis hilir batu bara menarik sepanjang pemerintah memberikan fasilitas insentif fiskal dan nonfiskal, ketersediaan pasar, dan kepastian regulasi jangka panjang.
“Ini akan mendorong perusahaan, tidak hanya penambang batu bara, tetapi juga investor lain untuk berinvestasi,” kata Hendra saat dihubungi melalui telepon, Senin (3/1).
Karena itu Hendra mendorong pemerintah segera menyiapkan ekosistem industri di tanah air yang siap menyerap batu bara. Penetapan proyek hilirisasi batubara sebagai bagian dari proyek strategis nasional (PSN) harus menjadi momentum untuk menciptakan industri dalam negeri.
“Karena salah satu faktor keberhasilan hilirisasi batu bara adalah adanya pasar dalam negeri yang dapat menyerap produk hilir batu bara,” ujar Hendra.
Dalam catatan APBI, upaya peningkatan nilai tambah emas hitam telah dilakukan sejak tahun 2019 oleh PT Pesona Khatulistiwa Nusantara melalui kegiatan pengolahan untuk meningkatkan kualitas batubara alias upgrading coal.
Pabrik tersebut mengolah 1,2 juta ton batu bara dengan nilai kalori 3.200 kkal per kilogram untuk menghasilkan batu bara dengan kualitas 5.000 kkal per kilogram dengan total volume hingga 700.000 ton per tahun.
Sedangkan PT Bukit Asam (PTBA) baru mencoba gasifikasi batu bara yang masih dalam tahap konstruksi. Proyek ini diperkirakan akan selesai dalam beberapa tahun ke depan.
Sekretaris Perusahaan PTBA, Apollonius Andwie mengatakan, perseroan tengah menyiapkan program hilirisasi batu bara yang fokus pada proyek DME. Hal ini sebagai bentuk komitmen perusahaan terhadap keluarnya Perpres No. 109 Tahun 2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 17 November 2020.
“Dengan penggunaan batu bara sebanyak 6 juta ton per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun,” kata Apollo melalui pesan singkat, Senin (3/1).
Sementara itu, PT Adaro Energy Indonesia masih mempelajari berbagai alternatif dan terus melakukan kajian untuk meningkatkan nilai tambah batubara. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan bisnis mereka di luar batu bara sebagai komitmen terhadap transformasi yang berkelanjutan.
Adaro melalui PT Adaro Indo Aluminium sedang dalam proses pembangunan smelter aluminium untuk pembangkit listrik di kawasan industri PT Kalimantan Industrial Park Indonesia, Kalimantan Utara. Nilai investasi mencapai US$ 2 miliar pada tahap pertama dengan kapasitas produksi smelter 500 ribu ton per tahun.
“Kami berharap investasi bisa segera terealisasi dan mulai konstruksi akhir tahun ini, proses konstruksi diperkirakan memakan waktu 24 bulan,” kata Nadira melalui pesan singkat, Senin (3/1).