Pengusaha batu bara meminta pemerintah berperan penuh dalam proyek gasifikasi menjadi Dimethyl Ether (DME) dan metanol. Dimana pemerintah mengambil peran dari sektor hulu ke hilir, bertindak sebagai pemberi pembiayaan proyek kepada pihak yang menjamin penyerapan pendapatan produksi.
Dewan Pengawas Indonesian Mining Association (IMA), Ido Hutabarat mengatakan, Indonesia perlu mengadopsi alur kerja China dalam mengelola hilirisasi batubara. Kesuksesan China sebagai salah satu negara yang berhasil mengimplementasikan hilirisasi batubara tidak lepas dari peran negara tersebut sebagai regulator.
Menurut Ido, hilirisasi batu bara merupakan barang baru di Indonesia, sehingga pemerintah harus memantau penuh permodalan pembiayaan dan akses pasar. “Di China, keputusan bisnis ditentukan oleh negara tersebut,” ujarnya di Zona Pertambangan CNBC, Jumat (24/3).
Dalam kesempatan itu, Ido juga mengomentari hengkangnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek patungan hilirisasi batu bara di Indonesia dengan PT Bukit Asam dan PT Kaltim Prima Coal.
Menurut Ido, pemerintah tidak banyak terlibat dalam menentukan harga dan menjamin konsumsi hasil hilir batubara. “Jadi ini murni bisnis dan karena ketidakpastian pasar investasi dan penjualan di sini, maka Air Products akan pergi. Ini legal,” ujarnya.
Dia menjelaskan, peran pemerintah dinilai mendesak untuk masuk ke ekosistem hilir batubara. Pasalnya, produk hilir emas hitam berupa DME merupakan gas sintetis yang memiliki karakteristik berbeda dengan gas alam. Sehingga peran pemerintah perlu lebih dalam lagi untuk mengontrol harga dan kualitas produk.
“Gas sintetik ini belum tentu sama kualitas dan harganya dengan gas bumi. Jadi ada resiko dalam investasi agar produk ini bisa terjamin. Toh DME ini digunakan di dalam negeri, jadi kita perlu kepastian offtaker sehingga ada kepastian serapan,” kata Ido.
Sebelumnya, perusahaan pengolah gas dan kimia asal Amerika Serikat (AS) Air Products and Chemicals Inc atau APCI menelantarkan dua proyek gasifikasi batu bara menjadi DME dan metanol yang dikerjakan bersama PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Kaltim Prima Coal (KPC). ). ).
Plt Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, Pengunduran Diri Air Products and Chemicals Inc. dua proyek hilirisasi batu bara domestik tersebut karena stagnasi perhitungan investasi antar perusahaan.
“Ya, proyek bersama PTBA dan KPC juga akan ditarik, batal semua. Mungkin karena skema bisnis dan aspek ekonominya belum terpenuhi,” kata Idris kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (9/9). /3). .
Idris mengatakan, pemerintah pada Rabu (8/3) memanggil petinggi perusahaan batu bara yang memiliki kewajiban hilirisasi sebagai syarat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 169A UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.“Kami menuntut komitmen mereka karena perpanjangan kontrak membutuhkan hilirisasi,” kata Idris.
Sementara itu, KPC berencana membangun proyek pengolahan batu bara menjadi metanol. Proyek yang berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dengan kapasitas batu bara 5-6,5 juta ton per tahun (GAR 4.200 kcal/kg).
Yield produk ditargetkan mencapai 1,8 juta ton metanol per tahun. Sementara itu, rencana proyek hilirisasi batubara PTBA berorientasi pada gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Proyek yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini diperkirakan mampu memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun dari 6 juta ton batu bara berkalori 4.200.
Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi 2,1 juta ton metanol per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun. Namun, rencana itu terancam dihentikan setelah Air Products and Chemicals Inc. mengirimkan surat resmi pengunduran diri kepada pemerintah melalui Kementerian Penanaman Modal.