Kebijakan larangan ekspor tembaga yang akan aktif pada pertengahan tahun ini dinilai bisa mengikuti klaim pemerintah yang sukses dalam proyek hilirisasi bijih nikel.
Perluasan larangan ekspor mineral mentah disebut akan mempercepat program hilirisasi nikel berbasis pengembangan baterai kendaraan listrik.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arrangga berpendapat bahwa terciptanya ekosistem baterai dan kendaraan listrik di Indonesia juga perlu didukung dengan penyediaan bahan baku komponen pendukung seperti kabel dan transmisi listrik yang umumnya dihasilkan dari bauksit. dan mineral tembaga. .
“Sulit melihat sebuah industri akan berkembang sendiri. Ekosistem baterai tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan penunjang seperti transmisi dan kabel. Bahan baku untuk produksi barang pendukung juga harus ada,” ujar Daymas kepada Katadata.co. id, Rabu (25/1).
Perluasan proyek hilirisasi juga dilihat sebagai peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan keuntungan di tengah tren transisi energi. Terutama pada komoditas mineral tembaga yang sering diolah menjadi produk lanjutan berupa sarana jaringan distribusi listrik.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, saat masih dalam bentuk bijih, harga tembaga hanya US$ 4,36 per ton. Harga jualnya akan naik menjadi US$ 1.365 per ton jika diolah menjadi konsentrat tembaga.
Apalagi, harga komoditas tembaga akan lebih tinggi jika sudah melalui tahap pemurnian menjadi katoda tembaga dengan harga US$ 6.049 per ton. Produk akhirnya berupa kabel tembaga dengan harga jual US$ 13.000 per ton.
Hal yang sama juga terjadi di sektor pertambangan bauksit. Saat masih berupa bijih, harga jual di pasar hanya US$ 18 per ton. Harga jual akan naik setelah bauksit dimurnikan menjadi alumina dengan harga jual US$ 350 per ton dan akan naik lagi jika diolah menjadi produk aluminium sebesar US$ 1.762 per ton.
“Logika sederhananya, menjual barang setengah jadi atau jadi akan jauh lebih mahal daripada menjual barang mentah. Ini momentum untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil ekstraksi komoditas tambang,” ujar Daymas.
Ekonom Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan perluasan proyek hilirisasi mineral penting dilakukan untuk menyediakan ekosistem rantai pasokan bagi pengembangan baterai dan kendaraan listrik di tanah air.
Sambung Fahmy, pertambangan komoditas hilir mineral tembaga dan bauksit bertujuan untuk menyediakan pasokan produk setengah jadi yang dapat diolah oleh industri penyerap. “Konsentrat tembaga olahan dan turunan bijih bauksit sangat dibutuhkan oleh industri lain dan permintaannya terus meningkat,” kata Fahmy.
Kebijakan hilirisasi mineral merupakan proyek jangka panjang yang berdampak pada pengurangan pendapatan negara di awal penerapan larangan ekspor. Namun, hal ini akan membawa hasil positif seiring dengan pertumbuhan industri pengolahan dan penyerapan di dalam negeri.
“Pengalaman pelarangan ekspor nikel memaksa pengusaha konsorsium atau investor hilir menjalankan hilirisasi. Selama pelarangan ekspor nikel terjadi kerugian Rp 21 triliun. Namun dua tahun kemudian, setelah hilirisasi dimulai, ada nilai tambah sekitar Rp 62 triliun,” kata Fahmy.