Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku terkejut saat menerima informasi adanya dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China dari Januari 2020 hingga Juni 2022.
Dia mengatakan kementeriannya segera melakukan penyelidikan bersama dengan instansi pemerintah terkait. “Lima juta? Sebesar itu,” kata Arifin di Kementerian ESDM, Jumat (7/7).
Arifin juga menginstruksikan jajarannya untuk menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China melalui korespondensi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing. Koordinasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi untuk mencatat ekspor komoditas mineral dari otoritas China.
“Tapi sejauh ini masih dalam penyelidikan karena penemuan bea cukai China. Kami masih mengumpulkan data verifikasi,” kata Arifin.
Informasi terkait dugaan ekspor nikel ilegal ke China pertama kali disuarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK mengacu pada data The General Administration of Customs of China (GACC) atau Administrasi Umum Kepabeanan China.
Arifin mengatakan dugaan ekspor ilegal bisa terjadi karena adanya perbedaan persepsi pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan China.
Hal senada disampaikan Plt Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Muhammad Wafid, Selasa, 4 Juni lalu. Wafid mengatakan, perbedaan persepsi tersebut mengacu pada cara masing-masing negara menentukan kode penjualan barang tambang.
Sementara itu, Indonesia masih terbuka untuk mengekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral terkait berupa bijih nikel. “Perbedaan persepsi juga mungkin terjadi, tapi kita lihat dulu, selama ini kita harus menunggu karena kita juga berkomunikasi dengan bea cukai,” kata Arifin.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China. Direktur Komunikasi dan Pembinaan Pengguna Jasa Kepabeanan dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dugaan penyelundupan ekspor bijih nikel ke China sangat beralasan.
Pasalnya, pihaknya juga telah menemukan dan mencegah kejadian serupa dengan total 71.000 ton pada September 2021. “Lima juta ton bukanlah barang yang sedikit. Dugaan penyelundupan ini sudah berlangsung sejak 2020, artinya sejak dilarang ekspor bijih nikel dan konsentratnya,” kata Nirwala di Mining Zone CNBC, Senin (26/6).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pihaknya mengetahui adanya ekspor bijih nikel ilegal tersebut. APNI juga sudah menutup masalah ini dengan Kementerian ESDM pada 2022.
Menurut Meidy, modus operandi ekspor bijih nikel ilegal yang dihadapi pihaknya pada 2021-2022 menggunakan kode HS 2604 yang mengacu pada komoditas nikel olahan atau nickel pig iron (NPI).
APNI menyebutkan, ekspor bijih nikel ilegal sebanyak 839.161 ton pada 2021 dan 1,08 juta ton pada 2022 dengan nilai sekitar US$ 54,64 juta. Praktik dua tahun tersebut sama-sama menggunakan modus operasi menggunakan kode HS 2064 yang mengacu pada produk bijih nikel olahan.
Meidy mengatakan kode HS 2604 merupakan kode penjualan untuk perusahaan pengolahan atau pabrik, bukan hasil tambang.
Ia mendorong Bea dan Cukai lebih berhati-hati dalam menyampaikan dokumen penjualan dengan melakukan pengecekan lebih lanjut terhadap komoditas yang dilaporkan dan mewaspadai pabrik yang memiliki akses ke pelabuhan internasional untuk ekspor produk nikel olahan.
“Dokumen laporan penjualan yang digunakan adalah HS 2604 yang untuk NPI atau semacamnya. Jadi bukan bijih nikel,” ujar Meidy di forum yang sama.