Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengaku memiliki informasi tentang pelaku yang diduga mengekspor 5 juta ton bijih nikel secara ilegal ke China.
Luhut mendapat informasi tersebut dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri. “Pak Firli bilang sudah dapat informasinya, nanti kita cek,” kata Luhut di Menara Danareksa Jakarta, Senin (24/7).
Dugaan penjualan nikel mentah ke China bermula dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melaporkan praktik penjualan bijih nikel ilegal pada Januari 2020 hingga Juni 2022. Temuan tersebut diperoleh dari data The General Administration of Customs of China (GACC).
Sejumlah instansi pemerintah seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini sedang menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China.
Direktur Komunikasi dan Pembinaan Pengguna Jasa Kepabeanan dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dugaan penyelundupan ekspor bijih nikel ke China sangat beralasan. Pasalnya, pihaknya juga telah menemukan dan mencegah kejadian serupa dengan total 71.000 ton pada September 2021.
“Lima juta ton barang bukan jumlah yang sedikit. Tudingan penyelundupan ini sudah berlangsung sejak 2020, artinya ekspor bijih nikel dan konsentratnya dilarang,” ujar Nirwala di Zona Pertambangan CNBC, Senin (26/6).
Dia menduga pengiriman ilegal lima juta ton bijih nikel ke China dilakukan secara bertahap selama dua tahun terakhir. “Kalau tidak disampaikan secara bertahap, tidak mungkin, kapal induk pun tidak mampu,” ujarnya.
Nirwala mengaku Bea dan Cukai telah menemukan eksportir bijih nikel ilegal dengan melacak data ekspor bekerja sama dengan bea cukai China. Dokumen penemuan itu rencananya akan segera diserahkan ke KPK.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan dugaan ekspor ilegal bisa terjadi karena adanya perbedaan persepsi pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan China.
Wafid mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menindaklanjuti dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China melalui korespondensi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing. Koordinasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi untuk mencatat ekspor komoditas mineral dari otoritas China.
Wafid menjelaskan, perbedaan persepsi tersebut mengacu pada bagaimana masing-masing negara menentukan kode penjualan barang tambang. Dia mencontohkan, Indonesia masih terbuka untuk ekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral terkait berupa bijih nikel.
“Misalnya masih ada nikel di bijih besi, di bawah 2-1%, bagi Indonesia tidak masalah dan bukan bagian dari nikel. Tapi di China bisa dianggap sebagai nikel, kemudian dihitung,” kata Wafid di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (4/7).
Lebih lanjut, kata Wafid, Kementerian ESDM menduga ada indikasi perbedaan penetapan kode HS alias Harmonized System yang diacu pemerintah China dan Indonesia dalam kasus dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke China. “Kode HS-nya mungkin salah, mungkin dari komoditas yang berbeda,” kata Wafid.
Kode HS adalah sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk mengklasifikasikan produk komersial dan turunannya. Sistem standar internasional ini dikelola oleh World Customs Organization yang beranggotakan lebih dari 170 negara anggota dan berkantor di Brussels, Belgia.