Kementerian ESDM tidak memasukkan bauksit sebagai komoditas mineral yang akan mendapat relaksasi larangan ekspor mulai 10 Juni 2023. Kewajiban penghentian ekspor bauksit masih aktif karena belum ada progres konstruksi. dari kilang bauksit. fasilitas.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan tujuh dari delapan proyek pembangunan smelter yang direncanakan masih berupa sawah. Situasi ini berdampak pada kepastian pelarangan ekspor bauksit sebagaimana diamanatkan Pasal 170A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan atau UU Minerba.
Pemerintah pasti akan melonggarkan ekspor lima jenis mineral logam hingga Mei 2024 dan akan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang akan menjadi landasan hukum perpanjangan izin ekspor tersebut. Kelima mineral tersebut merupakan konsentrat tembaga, besi, timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.
Arifin mengatakan, saat ini sudah ada empat smelter bauksit dengan total serapan 13,9 juta ton yang menghasilkan 4,3 juta ton alumina. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-1, dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-2.
Sedangkan tujuh proyek peleburan yang masih berupa sawah milik PT Kualitas Sukses Sejahtera, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Laman Mining, dan PT Kalbar Bumi Perkasa.
Pembangunan smelter Kalbar Bumi Perkasa terhenti karena investor menghentikan pendanaan setelah izin usaha pertambangan perusahaan dicabut oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Walaupun hasil verifikasi melaporkan progres pembangunan antara 30% sampai 66%, namun berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Tetap di lapangan,” kata Arifin dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VII DPR, Rabu (10/10). 24/5).
Arifin menjelaskan, ada penurunan ekspor bauksit hingga 8 juta ton pada 2023 senilai US$ 288,5 juta atau sekitar Rp 4,26 triliun. Angka ini meningkat menjadi 13,8 juta ton atau setara dengan nilai ekspor US$ 494,6 juta. Selain itu, larangan ekspor bauksit juga berpotensi mengurangi penerimaan negara dari royalti sebesar US$ 49,6 juta.
Padahal, kata Arifin, ketika larangan ekspor diberlakukan, ada nilai tambah US$ 1,9 miliar untuk bijih bauksit dari fasilitas pemurnian yang sudah beroperasi. “Jadi pemerintah masih mendapat keuntungan bersih US$ 1,5 miliar dan lapangan kerja bagi 7.627 orang,” kata Arifin.