Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Energi, mengusulkan pemerintah mencabut pajak ekspor bagi pengusaha tambang mineral yang belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian atau peleburan untuk program hilirisasi di dalam negeri. Perusahaan yang belum membangun smelter antara lain PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Langkah tersebut merupakan jalan tengah dari kebijakan penerapan larangan ekspor semua mineral mentah yang akan berlaku serentak pada Juni 2023 tanpa perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). .
Kebijakan hilirisasi produk mineral mentah merupakan amanat Pasal 170A UU Minerba. Pasal tersebut mengatur ekspor produk mineral mentah paling lama tiga tahun setelah UU Mineral diundangkan.
“Kalaupun akan diterapkan setelah Juni 2023, perusahaan tetap diberikan akses ekspor tetapi akan ada tambahan bea keluar,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno saat ditemui di Hotel AONE Jakarta, Senin ( 6/2).
Meski sudah mendekati jangka waktu larangan ekspor, sejumlah perusahaan tambang masih belum bisa menyelesaikan pembangunan smelter, salah satunya PT Freeport Indonesia (PTFI). Pabrik pengolahan tembaga yang dibangun pada 2019 ini diproyeksikan beroperasi secara komersial pada akhir 2024.
Sedangkan progres pembangunan smelter PTFI Gresik hingga akhir Desember 2022 baru mencapai 50%. Pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah di tengah minimnya penyerapan di dalam negeri akan mengancam keberlangsungan operasi perusahaan.
“Di PTFI ada 14 ribu pekerja. Bagaimana dengan para pekerja di sana, atau diberikan pengecualian lain atau waktu tambahan dengan syarat yang ketat,” kata Eddy.
Pembangunan smelter Freeport diproyeksikan telah keluar jalur selama dua tahun akibat pandemi Covid-19. Seperti nasib Freeport, proyek peleburan tembaga PT Amman Mineral Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa Barat juga diproyeksikan selesai pada Desember 2024.
Progres pembangunan meteran terbaru PT Amman masih dalam proses verifikasi. Hingga Juli 2022, progres konstruksi sudah mencapai 47%. Pembangunan smelter tersebut mundur dari target yang ditetapkan untuk beroperasi penuh pada Juli 2023.
Penundaan tersebut karena faktor eksternal seperti pandemi Covid-19 dan situasi geopolitik global yang tidak stabil. “Saya kira pemerintah akan terbuka karena ada perusahaan yang saat ini menghadapi masalah larangan ekspor tetapi tidak melakukan hilirisasi,” kata Eddy.
Jika kemudian pemerintah mengeluarkan aturan pajak ekspor, pemerintah juga harus memberikan aturan tegas terkait progres pembangunan smelter.
Eddy mencontohkan, pemerintah bisa langsung menghentikan hak ekspor perusahaan jika batas waktu yang disepakati dengan pemerintah terlampaui. “Misalnya akhir tahun ini progresnya harus 70%, ya harus 70%. Kalau tidak, ekspor harus dihentikan,” kata Eddy.