Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor produk hilir bijih nikel olahan mencapai US$ 4,98 miliar atau sekitar Rp 74,3 triliun pada kuartal I 2023. Komoditas berikutnya adalah ferro nikel, nikel matte, dan nikel besi kasar atau NPI .
BPS merinci total nilai ekspor feronikel Januari-Maret 2023 mencapai US$ 3,75 miliar dengan pembeli mayoritas dari China senilai US$ 3,65 miliar. Sisanya dikirim ke India dan Korea Selatan dengan nilai transaksi masing-masing US$ 45,2 juta dan US$ 29,8 juta.
BPS juga melaporkan realisasi ekspor bahan nikel pada kuartal I tahun ini mencapai US$ 1,22 miliar atau sekitar Rp 18,2 triliun. Transaksi penjualan terbanyak berasal dari China sebesar US$ 656,7 juta dan Jepang sebesar 363,2 juta. China juga merupakan pengekspor produk NPI terbesar dengan nilai US$ 7,5 juta.
Feronikel, Nikel matte dan NPI merupakan produk olahan bijih nikel saprolit kadar tinggi 1,5% sampai 3% yang disuling di peleburan dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Komoditas besi dan baja tahan karat merupakan produk lanjutan dari pengolahan tiga produk antara atau bahan baku yang telah melalui proses pengolahan.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ekspor feronikel dan NPI pada 2022 sebesar 5,8 juta ton. Hilirisasi bijih nikel akan menjadi modal utama bahan baku untuk membuat produk olahan lebih lanjut berupa stainless steel sheet dan hot rolled stainless steel (HR).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah membutuhkan investasi sebesar Rp 15 triliun untuk membangun pabrik pembuatan lembaran stainless steel berkapasitas 1,07 juta ton per tahun.
Langkah tersebut dinilai sebagai kewajiban mendasar di tengah program hilirisasi komoditas mineral yang akan berjalan bersamaan pada pertengahan 2023. Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyediakan biaya investasi hingga Rp8,5 triliun untuk membuat smelter hingga memproses produk canggih HR stainless steel dengan kapasitas produksi 1,07 juta ton per tahun.
“Nikel dan konsentrat sudah dilarang ekspor, sehingga potensi hilirisasinya dimulai dari feronikel dan NPI sebesar 5,8 juta ton,” kata Agus dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR, Selasa (14/2).
Menurut catatan Kemenperin per Februari 2023, terdapat 91 unit pabrik pengolahan mineral di dalam negeri, dengan rincian 48 smelter eksisting dan 43 smelter masih dalam tahap studi kelayakan dan konstruksi. Smelter yang beroperasi didominasi oleh smelter nikel sebanyak 36 unit, 6 smelter baja, 2 smelter tembaga, dan 4 smelter aluminium.
Rata-rata kapasitas produksi smelter tersebut per tahun sekitar 262 ribu ton per unit dan smelter baja tersebut memiliki kapasitas produksi 1,6 juta ton per tahun. Selanjutnya, smelter tembaga berkapasitas 150 ribu ton per tahun dan smelter aluminium berkapasitas 544 ribu ton per tahun. “Kementerian Perindustrian berkonsentrasi pada lima komoditas hilir, yaitu industri berbasis bijih tembaga, bijih besi dan pasir besi, bijih nikel, dan industri bauksit,” kata Agus.