PT Aneka Tambang (Antam) menyambut positif rencana pemerintah menerbitkan Indeks Harga Nikel Indonesia sebagai instrumen jual beli nikel di pasar domestik.
Perseroan menilai keberadaan harga referensi nikel dalam negeri dapat memberikan konsekuensi nyata dari sisi profitabilitas bisnis, keberlanjutan dari aspek cadangan nikel hingga pengelolaan lingkungan yang progresif.
Indeks harga ini bertujuan untuk mengurangi selisih harga yang timbul dari nilai penjualan nikel sebenarnya dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada harga rata-rata nikel di pasar London Metal Exchange (LME).
Transaksi nikel di pasar LME mengacu pada nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. Sedangkan produksi dan transaksi nikel di Indonesia mayoritas berasal dari jenis second class, seperti feronikel nickel pig iron (NPI) hingga nickel matte yang merupakan bahan baku pembuatan stainless steel.
Kepala Divisi Corporate Secretary PT Antam Syarif Faisal Alkadrie mengatakan, sebagai anak perusahaan induk industri pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), Antam akan mematuhi kebijakan pemerintah.
“Terkait penyusunan indeks harga nikel, tentunya kami berharap dapat dilaksanakan secara adil dan transparan, baik bagi penambang maupun pengelola pabrik peleburan dan pemurnian,” kata Faisal kepada Katadata.co.id melalui pesan singkat, Rabu. (5/17).
Fungsi indeks harga nikel Indonesia akan serupa dengan skema harga batu bara acuan atau HBA yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti bagi bisnis batu bara domestik. “Ke depannya, jika ada indeks harga nikel Indonesia, diharapkan transaksi bijih nikel tetap berjalan sesuai mekanisme pasar,” ujar Faisal.
Terkait kinerja produksi dan penjualan nikel pada triwulan I 2023, Antam mencatat volume produksi feronikel sebesar 5.437 ton nikel dalam feronikel, dengan total penjualan produk feronikel sebesar 4.287 ton.
Sedangkan untuk produk bijih nikel, total produksi bijih nikel konsolidasian Antam mencapai 3,41 juta wet metric ton (wmt), naik 17% dibandingkan volume produksi pada kuartal I 2022 sebesar 2,92 juta wmt.
Pertumbuhan produksi bijih nikel tersebut bertujuan untuk mendukung pemenuhan pertumbuhan positif penjualan bijih nikel pada kuartal pertama tahun ini.
Sedangkan volume penjualan bijih nikel konsolidasi Antam mencapai 3,44 juta wmt, naik 48% dibandingkan volume penjualan bijih nikel pada periode yang sama tahun lalu sebesar 2,33 juta wmt.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengendalikan transaksi nikel di dalam negeri.
“Pemerintah sedang berpikir untuk memiliki tempat sendiri sehingga bisa menetapkan harga,” kata Luhut di Hotel Westin, Jakarta, Senin (9/5).
HPM saat ini masih berdasarkan harga rata-rata nikel di bursa LME yang mengacu pada nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. “Kami juga ingin menetapkan harga sendiri, memasak LME untuk mengontrol harga nikel kami,” kata Luhut.
Di sisi lain, pelaku usaha pertambangan nikel meminta pemerintah segera merealisasikan pembentukan Indeks Harga Nikel Indonesia sebagai instrumen pembelian dan penjualan nikel di pasar domestik.
Mereka menilai keberadaan indeks harga nikel Indonesia mampu menekan selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi sebenarnya. Selama ini royalti mengacu pada harga patokan mineral yang mengacu pada harga rata-rata nikel di pasar London Metal Exchange.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani menjelaskan, harga pasar nikel dengan indeks LME lebih tinggi dibandingkan harga nikel berbasis feronikel dalam negeri. Menurut dia, harga jual feronikel antara penambang dan smelter jauh di bawah LME.
Situasi ini memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% karena perbedaan yang timbul dari harga jual sebenarnya feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan tarif royalti.
“Kalau LME jadi patokan HPM, royaltinya lebih banyak. Intinya pengusaha dibebani royalti yang tinggi,” kata Resvani kepada Katadata, Selasa (9/5).
Situasi ini secara paralel akan menaikkan harga nikel dalam negeri yang dijual ke perusahaan peleburan, terutama untuk smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel. “Kalau harga tinggi, smelter akan beli nikel mahal, jadi keuntungan pasti turun,” kata Resvani.